Logika Menkes Soal Peserta BPJS Kesehatan Picu Reaksi Publik
Font Terkecil
Font Terbesar
Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mempertanyakan keberadaan peserta BPJS Kesehatan dengan gaji Rp100 juta per bulan tetapi masih tercatat sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) memantik reaksi publik.
Sekilas, pernyataan tersebut tampak wajar sebagai dorongan perbaikan data dan efisiensi anggaran. Namun bila ditelaah lebih dalam, logika di balik pernyataan itu sesungguhnya tidak sepenuhnya akurat dan berpotensi menyesatkan arah kebijakan jaminan kesehatan nasional.
Pertama, persoalan data sosial-ekonomi kita belum pernah sepenuhnya beres. Pemadanan data PBI dengan basis data kemiskinan nasional selama ini masih menyisakan masalah akurasi, keterlambatan update, dan kesalahan administratif.
Seseorang yang tampil sebagai desil 10 dalam data makro bisa saja sebenarnya bukan kelompok kaya dalam kehidupan nyata. Banyak pekerja sektor informal, keluarga dengan pendapatan fluktuatif, atau orang yang baru bangkrut masih tercatat sebagai berpenghasilan tinggi.
Jika kebijakan diambil hanya dari data statis, maka risiko salah sasaran berupa penghapusan warga miskin dari daftar PBI akan membesar. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan menyangkut hak dasar atas kesehatan.
Kedua, penggunaan desil ekonomi sebagai ukuran kemampuan membayar iuran juga tidak linear dengan kenyataan lapangan. Menyatakan bahwa desil 10 sama dengan penghasilan Rp100 juta per bulan adalah penyederhanaan yang tidak mencerminkan variasi pendapatan, beban tanggungan keluarga, ataupun likuiditas seseorang.
Orang yang “kaya versi statistik” tidak selalu berarti memiliki arus kas stabil atau mampu menanggung biaya kesehatan jangka panjang. Dalam berbagai studi jaminan sosial di banyak negara, penilaian kemampuan finansial untuk urusan kesehatan tidak bisa diukur semata dari pendapatan bulanan.
Ketiga, dari perspektif keberlanjutan sistem kesehatan, peserta berpenghasilan tinggi justru merupakan penopang penting. Prinsip gotong royong dalam BPJS bergantung pada keikutsertaan seluruh spektrum sosial: yang sehat membantu yang sakit, yang mampu membantu yang rentan.
Jika orang-orang yang dianggap “tidak layak PBI” kemudian enggan menjadi peserta mandiri atau memilih menarik diri dari sistem, maka pool risiko menjadi lebih kecil dan biaya rata-rata meningkat. Ironisnya, mengeluarkan peserta kuat dari PBI tanpa mekanisme transisi justru dapat merusak stabilitas pembiayaan jaminan kesehatan nasional.
Keempat, saran agar kelompok berpenghasilan tinggi menggunakan asuransi swasta bukan solusi. Asuransi swasta tidak memiliki mandat universal, premi lebih mahal, dan banyak pengecualian penyakit.
Mengalihkan beban pelayanan kesehatan berat kepada asuransi swasta dapat membuat kelompok menengah-atas menjadi rentan secara finansial ketika menghadapi penyakit katastropik.
Di sinilah letak inti persoalan: pernyataan Menkes berpotensi menggeser paradigma jaminan kesehatan dari hak sosial menuju logika komersial, yang bertentangan dengan semangat Universal Health Coverage (UHC).
Pada titik ini, kritik bukan ditujukan pada upaya menertibkan data atau memperbaiki ketidaktepatan sasaran, melainkan pada cara pandang kebijakan yang terlalu menyederhanakan persoalan.
Kesehatan adalah hak dasar, bukan hadiah bagi yang miskin dan beban bagi yang kaya. Kebijakan yang terburu-buru dapat membuat kelompok miskin tersingkir dari PBI dan pada saat yang sama menggerus kepercayaan kelas menengah terhadap sistem jaminan sosial.
Arah kebijakan mestinya tidak berpijak pada retorika tentang siapa yang “pantas” atau “tidak pantas”, tetapi pada penguatan integritas data, mekanisme verifikasi yang manusiawi, serta konsistensi negara dalam melindungi seluruh warganya dari risiko kemiskinan akibat sakit.
Sistem jaminan kesehatan hanya dapat berdiri kokoh jika pemerintah tidak tergoda untuk menyempitkan definisi perlindungan sosial menjadi urusan administratif semata.
Jika Menkes ingin memperbaiki PBI, langkah yang tepat adalah memperkuat pemutakhiran data, audit berkelanjutan, dan transparansi proses.
Yang tidak tepat adalah menyederhanakan persoalan kompleks ini menjadi kesan bahwa keberadaan “orang kaya dalam PBI” sebagai anomali yang harus segera dihilangkan, tanpa melihat konsekuensi lebih luas bagi keberlanjutan jaminan kesehatan nasional.
Pada akhirnya, jaminan kesehatan adalah investasi negara untuk melindungi rakyat, semua rakyat, bukan hanya mereka yang dianggap layak dalam tabel statistik.
Agung Nugroho
Ketua Umum Rekan Indonesia
