GUYiTUd9GSO5TpO7TfY7BSM7TA==

PEREKAT NUSANTARA dan TPDI: Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 Tidak Sah, KPU-RI Jangan Terjebak


WARGA LAMPUNG | JAKARTA — PARA ADVOKAT PEREKAT NUSANTARA & TPDI, pada tanggal 24 Oktober 2023 telah mengirim surat meminta dialog dengan Pimpinan KPU-RI, terkait PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
(MK) No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, dalam perkara Uji Materiil mengenai konstitusionalitas pasal 169 huruf q, UU No. 7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum terkait pemaknaan terhadap sifat putusan MK yang “Final” dan “Mengikat” dimana KPU-RI sebagai salah satu pihak yang sangat berkepentingan dengan pelaksanaan Putusan MK dimaksud, untuk hal ini PEREKAT NUSANTARA dan TPDI berkepentingan menyampaikan beberapa pokok pikiran, sebagai berikut :

1. Sifat Putusan MK, “final dan mengikat” sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, tentang
Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh (final and binding).

2. Hal ihwal Putusan MK bersifat “final dan mengikat”, tentu saja berlaku bagi Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, meskipun di sana-sini terdapat beberapa persoalan pelaggaran Etika, Hukum Acara, Hukum Materiil (UU No. 48 Tahun 2009) dan Sumpah Jabatan Hakim Konstitusi yang diduga terjadi dalam proses Uji Materiil pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dimana Laporan pengaduan kami kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada tanggal
18 Oktober 2023 saat ini sedang ditangani oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam perkara Pelanggaran Etik dan pidananya oleh KPK dalam dugaan “Kolusi dan Nepotisme” dalam proses Uji Materiil perkara No.90/PUU-XXI/2023, karena dalam banyak hal sebuah keputusan termasuk Putusan Hakim, meskipun sudah final dan mengikat, belum dapat dilaksanakan karena terdapat persoalan yang muncul dalam diri putusan itu sendiri atau karena sebab dari luar yang bersifat prosedural, seperti masih memerlukan peraturan pelaksana atau hal lain yang secara hukum dapat mengganggu pelaksanaannya agar dapat dipertanggungjawabkan.

3. Jika dicermati dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, frasa tambahan pada Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
yang berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” hanya disetujui oleh 3 (tiga) Hakim MK, dimana 2 (dua) Hakim MK lainnya yang menyetujui penambahan frasa tersebut tetapi dibatasi minimal pada level Provinsi, dan sisanya adalah 1 (satu) Hakim MK menolak bahwa Pemohon tidak memiliki Legal Standing, 2 (dua) Hakim MK menolak penambahan frasa tersebut dengan alasan Open Legal Policy, 1 (satu) Hakim MK menolak dengan menyatakan permohonan gugur.

Kesimpulannya: ada 4 Hakim MK MENOLAK, ada 2 Hakim MK KABUL dengan catatan hanya level Provinsi, dan 3 Hakim MK KABUL untuk semua level Kepala Daerah, artinya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang digunakan oleh WALIKOTA SURAKARTA bernama Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden menjadi tidak memenuhi syarat, karena hanya dikabulkan oleh minoritas 3 Hakim dari 9 Hakim MK yang berakibat Tidak Sah pencalonan Gibran Rakabuming Raka tersebut.

Namun kalau Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 ini dimaknai bahwa 5 (lima) Hakim MK menyetujui GIBRAN RAKABUMING RAKA bisa menjadi Calon Wakil Presiden, patut diduga
ini adalah bentuk lain dari JOKOWI TIGA PERIODE yang dipaksakan dengan menggunakan tangan MK. Apakah itu artinya Nawacita Jokowi telah GAGAL TOTAL?

4. Selain dari pada itu, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023, terdapat permasalahan yang serius, karena terdapat persoalan faktual yaitu ada pelanggaran secara bersama-sama oleh Hakim Konstitusi, Pihak Pemohon dan oleh Pihak Pemberi Keterangan (Presiden dan DPR), yaitu menyangkut pelanggaran terhadap “asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :
“Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara”. Dan dapat dikenakan Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan
dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.

Diatur pula dalam UU Mahkamah Konstitusi No.24 Tahun 2003 Pasal 28 ayat (6) yang menyatakan bahwa Putusan MK bisa berakibat TIDAK SAH dan TIDAK MEMPUNYAI
KEKUATAN HUKUM MENGIKAT, artinya Putusan Final dan Mengikat itu apabila dinyatakan Tidak Sah, maka tidak memiliki kekuatan eksekusi.

Untuk Pidananya ini kami telah membuat Laporan Pidana ke KPK pada tanggal 23 Oktober 2023 terkait Kolusi dan Nepotismenya yang patut diduga adalah bagian dari
KORUPSI POLITIK, dimana Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara, dan Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

5. Dengan demikian faktor adanya hubungan sedarah atau semenda antara Hakim Konstitusi Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Jokowi dengan kepentingan Perkara Uji
Materiil No. 90/PUU-XXI/2023 yang diperjuangkan oleh Pemohon adalah untuk dan demi kepentingan GIBRAN RAKABUMING RAKA, putra sulung Presiden Jokowi yang juga
keponakan Hakim MK Anwar Usman menjadi Capres atau Cawapres 2024, maka Hakim MK Anwar Usman sejak awal harus menyatakan mengundurkan diri dari perkara No. 90/PUU-
XXI/2023, namun hal itu tidak dilakukannya yang telah membuktikan secara terang benderang adanya “KORUPSI POLITIK” yaitu “KOLUSI” dan NEPOTISME” yang telah
merusak marwah keluhuran martabat Hakim Konstitusi dan kemandirian Lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Oleh karena terdapat persoalan hukum yang rumit dan sangat problematik, sehingga memerlukan langkah bijak dari KPU-RI, berupa penundaan pelaksanaan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023, sementara batas waktu pengumuman penetapan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden akan dilakukan oleh KPU-RI pada tanggal 13 November 2023, kiranya KPU-RI tidak terjebak dalam Problematika Hukum dan Etika, akan tetapi memberikan solusi terbaik guna terselenggaranya Pemilu 2024 secara lebih bermartabat, lebih terhormat, bebas, adil dan dapat dipercaya yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan etika moral yang baik dan benar.

KOORDINATOR TPDI KOORDINATOR PEREKAT NUSANTARA

ttd. 

PETRUS SELESTINUS     CARREL TICUALU       ERICK S. PAAT