WARGA LAMPUNG | JAKARTA — Salah satu kegiatan Komite I DPD RI pada masa sidang I Tahun Sidang 2023-2024 adalah mengundang pakar/ahli untuk membahas pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Kegiatan dalam bentuk RDPU dilaksanakan di Ruang Sriwijaya gedung B Kompleks DPD RI Senayan jakarta (29/08).
RDPU yang diikuti oleh anggota Komite I DPD RI tersebut menghadirkan 3 (tiga) ahli pemerintahan sebagai narasumber, antara lain Prof. Dr. Siti Zuhro, Robert Na Endi Djaweng, S.IP., M.Si dan Dr. Halilul Khairi.
RDPU dipimpin oleh ketua Komite I, Senator Fachrul Rozi. Pada sambutan pengantar, Fachrul Rozi mempertanyakan apakah otonomi daerah masih ada, atau sekarang kita berada pada kondisi the end of otonomi daerah.
Endi Djaweng menyatakan, bahwa kita sudah mempraktekkan otonomi daerah dengan berbagai dinamikanya. Namun adanya gejala resentralisasi atau arus balik sudah mulai terasa sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pada Undang-Undang tersebut sebagian kewenangan yang dahulunya diserahkan kepada kabupaten/Kota ditarik ke tingkat provinsi. Arus balik semakin nyata ketika semakin berkurangnya kewenangan kabupaten/kota sebagai dampak dari lahirnya Undang-Undang Cipta kerja, Undang-Undang Minerba, dan beberapa Undang-undang lainnya.
Dibagian lain, Djaweng memandang bahwa perlu segera diterbitkan Desain besar otonomo Daerah sebagai dasar pembentukan daerah otonom baru. Hal menarik disampaikan oleh Djaweng adalah untuk mewujudkan desentralisasi maka DPD memiliki peran dengan memperkuat fungsi representasinya.
Siti Zuhro mengatakan, bahwa otonomi daerah hanya bisa dilaksanakan jika demokrasi dilaksanakan dan tergantung will dari pemerintah. Fakta sekarang, otonomi daerah sudah tidak dinihilkan oleh lahirnya berbagai aturan seperti Undang-Undang Cipta kerja, Undang-Undang Minerba. Bahkan pelaksanaan pilkada secara serentak secaar nyata wujud sentralisasi. Terkait IKN, Zuhro menyatakan bahwa Undang-Undang IKN dibuat secara tergesa-gesa. Hal itu ditunjukkan dengan kurang transparan dan kurangnya partisipasi publik didalam proses penyusunan regulasi. hal itulah yang menyebabkan Undang-Undang baru dilaksanakan, sudah dilakukan revisi.
Narasumber lainnya, Halilul menyatakan bahwa keberadaan daerah otonom merupakan mandat konstitusi, bukan perintah eksekutif (presiden). Daerah otonom tidak sama dengan pemerintah daerah (kepala daerah). Sehingga daerah otonom bukan instansi atau unit organisasi birokrasi yang menjalankan fungsi administrasi. Daerah otonom menjalankan fungsi politik yang dimiliki oleh rakyat daerah itu. Halilul menegaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi akan memperkuat negara dan mencegah separatisme.
Halilul pun mengamini pernyataan Djaweng dan Zuhro yang menyatakan bahwa adanya kecenderungan sentralisasi. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya fenomena penarikan kewenangan daerah menjadi kewenangan pusat, seperti perizinan, pertambangan, kelautan dan anggaran.
Kesimpulan dari RDPU tersebut antara lain, pelaksanaan desentralisasi/otonomi daerah perlu ditata ulang melalui revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah; dibutuhkan segera Peraturan Pemerintah terkait Penataan Daerah dan Desain besar Otonomi daerah dan mencabut moratorium bembentukan daerah otonom.
Terkait revisi Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara, revisi dilakukan memperhatikan secara sungguh-sungguh UUD 1945, Pasal 18, 18 A dan 18 B dan memperhatikan pandangan DPD RI, serta DPD RI berperan pelaksanaan desentralisasi dengan memperkuat pelaksanaan fungsi representasi. (hms)